Wednesday, October 6, 2021

Nasihat Si Mbah




 Ingin makan tahu,kudu susah sek goreng tahu,beruntung sek goreng tahu ora gawe tahu disek😁alhamdulillah🤗

1.Wong naliko metu soko wetenge simbok iku kudu susah, tapi yen wong metu soko dunyo alias mati iku kudu roso seneng, iki alamate wong seng bakal urip seneng.
2.Nak wong ahli toriqoh utowo ahli tasawuf iku ora ono bedone doso iku gede utowo cilik podo bae kabeh didohi.
3.Alamate wali iku wes ora biso guneman karo menungso, masalahe wong nak guneman karo menungso iku yo ora biso dzikir karo  Gusti Allah.
4.Apik-apik’e wong iku taqwo marang Gusti Allah yoiku ora ngelakoni doso mboh iku doso cilik utowo doso gede kabeh iku di tinggal.
5.Yen Enek Ojo Bungah Yen Gak Enek Ojo Susah.
Yen Enak Ojo Mentèng Kelek Yen Gak Enak Ojo Sambat. Ikhlas anggone Sholat lan Sabar.
-Nasihat Si Mbah-

size='medium'/>

Sunday, October 3, 2021

Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

 

Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

29/11/2020


Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Apakah yang bertasbih kepada Allah adalah manusia saja? Apabila kalian mengira bahwa selama ini yang bertasbih kepada Allah hanya manusia saja adalah keliru. Karena banyak ayat Al-Quran yang menerangkan bahwa alam semesta bertasbih kepada Allah SWT. Semua makhluk di dunia ini bertasbih kepada Allah. Salah satu ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang hal ini adalah surat Al-Isra ayat 44:

تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Seluruh alam bertasbih kepada Allah, baik makhluk hidup maupun benda mati

Beberapa kali Allah telah menerangkan dalam Al-Quran tentang tasbihnya seluruh makhluk di alam semesta. Baik itu makhluk hidup seperti hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan, maupun benda mati seperti gunung-gunung. Ayat yang menjelaskan tentang hal tersebut adalah surah An-Nur ayat 41:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلطَّيْرُ صَٰفَّٰتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُۥ وَتَسْبِيحَهُۥ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menuturkan bahwa yang dimaksud dengan apa yang ada di langit dan bumi adalah seluruh makhluk baik dari kalangan malaikat, manusia, jin, semua hewan serta benda mati. Hal ini pun senada dengan keterangan dari Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz bahwa seluruh makhluk Allah yang bertasbih itu berasal dari makhluk hidup seperti bangsa hewan maupun benda-benda mati.

Dalam suatu hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah menyebutkan bahwa semut juga bertasbih. Rasululullah pada saat itu menceritakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa pada zaman dahulu Nabi Musa pernah duduk dibawah pohon yang rindang. Pada saat bersantai tiba-tiba ia merasa kesakitan karena ada bagian tubuhnya yang digigit seekor semut. Nabi Musa pun marah lantas menyuruh pasukannya untuk membakar sarang semut tersebut. Namun Nabi Musa ditegur Allah perihal tersebut seperti yang disabdakan Rasulullah SAW “Hanya karena kamu digigit oleh seekor semut, lalu kamu membinasakan sebuah umat yang bertasbih” (HR Bukhari Muslim).

Kisah ini serta ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah membuktikan bahwa hewan-hewan seperti burung dan semut juga turut bertasbih. Melalui ayat-ayat dan kisah ini indikasinya tidak hanya dua jenis hewan di atas. Melainkan seluruh hewan di alam ini pun juga bertasbih menyucikan dan mengagungkan nama Allah, alam semesta bertasbih.

Dalam ayat lain Allah memberikan keterangan perihal benda mati yang juga bertasbih. Allah memberikan satu contoh yaitu gunung-gunung. Ayat-ayat tersebut pada waktu itu merujuk kepada Nabi Daud karena ia adalah salah satu nabi yang diberikan mukjizat oleh Allah mengerti bahasa hewan dan memiliki kerajaan bukan dari manusia saja, melainkan dari makhluk lain. Gunung-gunung tersebut diperintahkan Allah untuk bertasbih bersama-sama dengan Nabi Daud. Adapun ayat-ayat tersebut terdapat dalam surah surah Saba’ ayat 10:

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلا يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Hai gunung-gunung dan burung­-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.”

Kemudian juga dalam surah Shad ayat 18-19:

إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإشْرَاقِ . وَالطَّيْرَ مَحْشُورَةً كُلٌّ لَهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah.”

Seperti penjelasan oleh Ibnu Katsir dan Wahbah Zuhayli di atas, bahwa pada dasarnya semua makhluk Allah itu bertasbih. Baik yang di langit maupun di bumi, baik yang hidup ataupun mati. Semua alam bertasbih memuji Allah tanpa terkecuali. Dan bahwa manusia yang congkak saja yang tidak mau bertasbih memuji dan menyucikan-Nya.

Bertasbih dengan caranya masing-masing

Pada pambahasan di atas telah diterangkan bahwa semua makhluk di alam ini bertasbih kepada Allah. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara mereka bertasbih?

Ibnu Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi mendefinisikan tasbih adalah suatu bentuk penyucian nama dan dzat Allah dari segala macam sifat yang tidak pantas disandang-Nya. Sedang Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menjelaskan pengertian yang lebih lebar bahwa semua makhluk yang ada di langit dan di bumi turut menyucikan Allah, mengagungkan, memuliakan, dan membesarkan-Nya dari apa yang dikatakan orang-orang musyrik. Seluruh alam semesta mempersaksikan keesaan Allah sebagai Tuhan mereka.

Mengenai cara bertasbihnya makhluk, Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi memberikan keterangan bahwa mereka betasbih dengan cara masing-masing. Jika makhluk tersebut mempunyai akal seperti manusia maka cara tasbihnya adalah dengan beribadah seperti menyebut asma Allah dengan lisannya. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, Rasululullah pun memberikan tuntutan mengenai amalan tasbih untuk umatnya, “barang siapa yang mengucapkan subhanallah wa bihamdih dalam sehari seratus kali maka kesalahan-kesalahannya dihapuskan meskipun seperti buih di lautan” (Muttafaqun ‘alaih).

Al-Mahalli dan Al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn memberikan penjelasan bahwa seluruh tasbih dan shalatnya makhluk dengan caranya masing-masing, sedang Allah yang mengetahui apa yang mereka perbuat. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga sependapat dengan hal itu, beliau menambahkan penjelasan bahwa bertasbihnya makhluk adalah dengan menjalankan tugasnya sebagaimana fitrahnya masing-masing. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah ketika beliau melarang umatnya untuk membunuh seekor katak “suara katak adalah tasbihnya,” (HR An-Nasai).

Pendapat-pendapat para mufassir di atas juga disepakati oleh Buya Hamka dalam Tafsri Al-Azhar. Ia memberikan tambahan komentar bahwa seluruh makhluk Allah di alam semesta ini bertasbih menyucikan-Nya dan mengangungkan-Nya baik dengan lisan maupun dengan isyarat aktivitas tubuhnya.

Kebesaran Allah memang tidak akan berkurang meskipun manusia tidak mengagungkan-Nya, bahkan jika pun manusia tidak menyembah-Nya. Namun tujuan bertasbih adalah untuk manusia sendiri. Manusia yang hakikatnya adalah seorang hamba maka selayaknya ia mengagungkan nama-Nya dan menyucikan-Nya. Menyucikan dan mengangungkan-Nya adalah wujud amal seorang hamba yang saleh karena ia tunduk dan taat kepada Sang Penciptanya.

 




 

Apa Makna Allah dan Malaikat Bershalawat kepada Nabi?

Selasa 25 September 2018 09:30 WIB Ilustrasi (Twitter) Bagikan: Salah satu ibadah yang sangat sering dianjurkan oleh para guru untuk dilakukan oleh para muridnya adalah memperbanyak bacaan shalawat kepada Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini perlu mengingat banyaknya keistimewaan shalawat yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan selainnya.

Secara bahasa as-shalawât ( الصلوات ) merupakan bentuk jamak dari kata as-shalât ( الصلاة ) yang berarti berdoa. Karenanya maka bershalawat kepada Rasulullah berarti mendoakan kebaikan bagi beliau. Ini secara bahasa. Namun demikian apakah perintah untuk bershalawat kepada Nabi memang ditujukan dan dimaksudkan agar umat ini mendoakan beliau? Ada banyak penjelasan ulama tentang hal ini.

Allah subhânahû wa ta’âlâ di dalam Surat Al-Ahzab ayat 56 berfirman: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.” ADVERTISEMENT Setidaknya ada dua poin besar yang bisa dipahami dari ayat di atas, yakni: Pertama, Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kedua, adanya perintah bagi orang-orang mukmin untuk bershalawat dan bersalam kepada beliau. Dari kedua poin besar itu kemudian lahir beberapa pertanyaan di antaranya: Apa makna shalawat yang berasal dari Allah, para malaikat dan orang-orang mukmin? Bila shalawat memiliki makna dasar berdoa sebagaimana dijelaskan di atas, maka apa maksud Allah bershalawat kepada Nabi, apakah Allah mendoakan beliau? Bila iya, lalu Allah berdoa kepada siapa? Bila Allah telah bershalawat kepada Nabi, lalu apa faedah shalawatnya para malaikat dan faedahnya orang-orang mukmin juga diperintah untuk bershalawat? Tidakkah shalawat-Nya Allah sudah lebih dari cukup sehingga tak dibutuhkan lagi dari selain-Nya? Imam Al-Qurtubi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa shalawatnya Allah kepada Nabi Muhammad berarti rahmat dan keridloan-Nya kepada beliau. Sedangkan shalawatnya para malaikat berarti doa dan permohonan ampun (istighfar) mereka bagi Rasulullah. Adapun shalawatnya umat beliau merupakan doa dan pengagungan terhadap kedudukan Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Kairo, Darul Hadis, 2010, jil. VII, hal. 523).

Makna-makna ini tidak saja disampaikan oleh Al-Qurthubi tapi juga oleh para mufassir di dalam berbagai kitab mereka. Dari sini bisa dipahami bahwa shalawat yang disampaikan oleh Allah, para malaikat, dan orang-orang mukmin memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Shalawatnya Allah kepada Nabi jelas tidak mungkin diartikan sebagai doa bagi beliau. Karena mendoakan kebaikan bagi seseorang berarti memohonkan suatu kemanfaatan bagi orang tersebut dari pihak ketiga. Bila shalawatnya Allah dimaknai demikian maka kepada siapakah Allah memintakan kebaikan bagi Nabi-Nya? Jelas ini mustahil. Selanjutnya ada kesamaan makna antara shalawat yang disampaikan oleh para malaikat dan shalawat yang dibacakan oleh orang-orang mukmin, yakni sama-sama bermakna doa atau permohonan kebaikan bagi beliau. Dengan bershalawat para malaikat dan orang-orang mukmin memohon kepada Allah untuk selalu mencurahkan rahmat dan pengagugan-Nya kepada Baginda Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja perlu digaris bawahi pula bahwa yang demikian itu bukan berarti Rasulullah membutuhkan doanya para malaikat dan umat untuk kebaikan diri beliau. Bila Rasulullah butuh terhadap doanya malaikat dan umatnya yang berupa shalawat maka kiranya shalawat Allah kepada beliau sudah lebih dari cukup, tak ada kebutuhan doa shalawat dari selain-Nya. Berbeda-bedanya makna shalawat yang dilakukan oleh Allah dan para malaikat serta orang-orang mukmin semuanya sejatinya dimaksudkan untuk satu hal, yakni memperlihatkan pengagungan kepada beliau dan menghormati kedudukan beliau yang luhur sebagaimana mestinya. Hal ini sama dengan ketika Allah memerintahkan kita untuk selalu mengingat-Nya, bukan berarti Allah butuh diingat oleh hamba-Nya namun karena untuk menunjukkan kebesaran dan kedudukan-Nya. Dalam hal ini Imam Fakhrudin Ar-Razi di dalam kitab tafsir Mafâtîhul Ghaib menjelaskan: الصَّلَاةُ عَلَيْهِ لَيْسَ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا وَإِلَّا فَلَا حَاجَةَ إِلَى صَلَاةِ الْمَلَائِكَةِ مَعَ صَلَاةِ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيمِهِ، كَمَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ عَلَيْنَا ذِكْرَ نَفْسِهِ وَلَا حَاجَةَ لَهُ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيمِهِ مِنَّا شَفَقَةً عَلَيْنَا لِيُثِيبَنَا عَلَيْهِ Artinya: “Bershalawat kepada Nabi bukanlah karena kebutuhan beliau kepadanya. Bila Nabi membutuhkan shalawat maka tak ada kebutuhan terhadap shalawatnya malaikat yang bersamaan dengan shalawatnya Allah kepada beliau. Shalawat itu hanya untuk menampakkan pengagungan terhadap beliau, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengingat Dzat-Nya sementara Allah tak memeiliki kebutuhan untuk diingat. Hal itu semata-mata karena untuk menampakkan sikap pengagungan terhadap beliau dari kita dan untuk Allah memberikan ganjaran bagi kita atas pengagungan tersebut.” (Fakhrudin Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, 2000 [Beirut: Darul Fikr, 1981], Jil. XXV, hal. 229) Imam Baidlowi dalam tafsirnya menyampaikan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi artinya memberikan perhatian dalam menampakkan kemuliaan beliau dan mengagungkan kedudukannya. Sedangkan perintah kepada orang-orang mukmin untuk bershalawat kepada beliau berarti perintah agar mereka ikut serta memperhatikan pengagungan tersebut karena mereka lebih selayaknya mengagungkan Baginda Rasulullah dengan membaca shalawat Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad. (Nashirudin Al-Baidlowi, Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta’wîl, 2000 [Damaskud: Darur Rosyid], Jil. III, hal. 94)Lebih lanjut, diperintahkannya orang-orang mukmin bershalawat kepada Nabi selain untuk mengagungkan beliau juga dimaksudkan agar shalawat menjadi sarana bagi mereka untuk mendapatkan pahala dan anugerah dari Allah yang berlimpah ruah. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا Artinya: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” Orang yang mendapat shalawat dari Allah berarti dia mendapatkan anugerah yang sangat besar dari-Nya. Hal ini bisa dipahami setidaknya dari ekspresi Rasulullah ketika diberitahu malaikat Jibril perihal orang yang bershalawat kepada Nabi akan mendapat sepuluh shalawat dari Allah. Saat itu Rasulullah seketika bersujud sangat lama sekali sebagai rasa syukur bahwa umatnya mendapat anugerah yang begitu besar dari Allah hanya dengan bershalawat sekali saja. Dengan demikian sesungguhnya yang membutuhkan shalawat bukanlah diri Rasulullah, namun umat beliau. Sebab ketika seseorang bershalawat kepadanya maka ia akan mendapatkan limpahan anugerah dari shalawatnya itu. Wallâhu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/96220/apa-makna-allah-dan-malaikat-bershalawat-kepada-nabi
===
Yuk, install NU Online Super App versi Android (s.id/nuonline) dan versi iOS (s.id/nuonline_ios). Akses dengan mudah fitur Al-Qur'an, Yasin & Tahlil, Jadwal Shalat, Kompas Kiblat, Wirid, Ziarah, Ensiklopedia NU, Maulid, Khutbah, Doa, dan lain-lain.

 

size='medium'/>

Obat Linu Bobok

 1.jahe,kencur,brambang,minyak kayu putih