بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
*MERASA PALING SUCI, AKAN MUDAH MENCACI*
_(Oleh: Imam Santoso)_
Kenapa Islam sangat melarang perilaku orang yang mengaku paling benar dan suci?
Merasa diri paling benar akan mudah menyalahkan orang lain.
Merasa diri paling mulia akan mudah menghina orang lain.
Merasa paling suci, bisa jadi sangat mudah mencaci orang lain.
Allah mengingatkan diri kita yang sama. Diciptakan dari dasar yang sama. Hanya Allah yang mengetahui siapa yang mulia dan Allah lah yang akan mengangkat derajat kemuliaan seseorang.
Allah SWT berfirman yang artinya:
_“Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih dalam perut ibumu._
_Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”_
(QS. An Najm: 32)
Manusia jangan pernah tergoda dengan pujaan sebagai idola. Pengikutnya pun kadang sangat buta untuk memuja-muja. Ketika anda dalam posisi seperti itu mudah sekali mengidap penyakit paling suci dan mulia. Merasa diri sedang dipuja sehingga seolah paling mulia. Merasa diri sedang disanjung sehingga merasa paling agung.
Dampak dari perasaan paling benar, suci, dan mulia adalah kegagalan diri untuk melakukan *intropeksi*. Kegagalan untuk melakukan evaluasi diri mudah sekali jatuh pada merendahkan orang lain yang dipandang tidak suci, salah, dan hina.
Nabi dalam hadis dari Abu Hurairah, berkata:
_“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.”_
(HR. Bukhari)
Ketika diri kita tertutupi rasa *paling suci* akan mudah untuk *mencaci* yang lain.
Merasa *paling benar* akan mudah *menyalahkan* orang lain.
Merasa *paling mulia* akan mudah *menghina* orang lain.
Inilah pentingnya dalam agama bersikap *rendah hati* (tawaddhu’). Rendah hati bukan berarti merendahkan diri.
*Tawaddhu’* adalah banteng untuk menjaga diri agar tidak mudah merasa paling mulia dan suci. Sikap inilah yang dimiliki para ulama dengan tingkat keilmuan yang tinggi disertai dengan akhlak yang mulia.
Keilmuan tidak menyebabkan mereka menjadi merasa paling suci, tetapi semakin merasa hina di hadapan Allah.
Ketika berhadapan dengan manusia, ulama yang tawaddhu’ dan zuhud akan selalu mendengarkan dan tidak menghujat, apalagi menghakimi.
Teladan *Imam Syafii* yang sangat agung patut menjadi contoh. Beliau dengan ilmu yang luas, tetapi dibentengi dengan akhlak yang luhur.
Ketika ada perdebatan dan persoalan Imam Syafii mengatakan:
_kalamy shawaabu yahtamilu al-khathaa, wa kalamu ghairy hathau yahtamilu al-shawaaba._
Artinya:
_“Pendapatku boleh jadi benar tetapi berpeluang salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah namun berpeluang benar.”_
Rasanya memang sulit hari ini mencari sosok seperti Imam Syafii yang mengedepankan kehati-hatian untuk tidak merasa paling benar dan suci. Namun, setidaknya kita bisa melatih diri untuk tidak merasa paling suci dan paling benar. Hal terburuk dari sikap merasa segalanya adalah mudah merendahkan orang lain.
Ingatlah sabda Rasulullah SAW:
_“Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.”_
(HR. Muslim)
🕋
https://islamkaffah.id/merasa-paling-suci-akan-mudah-mencaci/
size='medium'/>